Minggu, 01 April 2012

Softskill Akuntansi Internasional I "Permasalahan Akuntansi"

Kasus – kasus Akuntansi
Auditor BPK di Bank Century Temukan Kredit dan L/C Fiktif
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menemukan unsur tindak pidana dalam kasus penyelamatan PT Bank Century Tbk (kini berganti nama menjadi Bank Mutiara). Namun, unsur tindak pidana yang ditemukan auditor BPK itu baru sebatas dari sisi pengelolaan bank seperti kredit fiktif dan letter of credit (L/C) fiktif.
”Saat ini kami memang baru bisa memperlihatkan adanya indikasi pidana saat bank itu dikelola. Untuk yang bailout (dana talangan atau penyelamatan) Bank Century, kami belum berpendapat,” ujar anggota BPK Hasan Bisri setelah pengucapan sumpah ketua dan wakil ketua BPK di Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, kemarin (26/10).
Meski belum mendapatkan hasil, Hasan yang memimpin tim audit investigasi kasus Bank Century tersebut menegaskan bahwa proses audit masih berjalan. Dia menyatakan telah banyak kemajuan yang diperoleh dan diperkirakan sudah lebih dari 70 persen proses audit digarap. ”Minggu ini akan dipaparkan lagi perkembangannya,” katanya.
Meski audit tinggal 30 persen, dia tidak berani menargetkan kapan proses tersebut tuntas. Dia juga tidak bersedia menyebutkan pihak-pihak yang telah dimintai keterangan konfirmasi oleh auditor BPK. ”Wawancara dan sebagainya itu termasuk strategi audit. Saya tidak bisa membongkar strategi auditor BPK,” tuturnya.
Terkait pernyataan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang pekan lalu menyebutkan bahwa tidak ada delik hukum dalam penyelamatan Bank Century, dia menegaskan hal itu tidak berpengaruh pada audit investigasi BPK. ”Tugasnya berbeda. Kami melakukan audit atas permintaan DPR dan KPK. Soal instansi lain mau mengatakan apa, itu kewenangan mereka. Kami tidak mau ikut campur,” ujar Hasan.
Sikap Kejagung, ungkap dia, juga tidak akan berpengaruh pada hasil audit BPK. BPK murni punya pendapat berdasar bukti serta penelusuran sendiri. ”Audit jalan terus. BPK mempunyai standar sendiri, catatan audit, dokumen, serta bukti dan pendapat sendiri yang mungkin berbeda dari Kejaksaan Agung,” terangnya.
Di tempat terpisah, Ketua BPK Hadi Purnomo juga menegaskan bahwa pihaknya akan tetap independen. Mantan Dirjen Pajak tersebut menyatakan belum mendapat laporan soal hasil audit dari pimpinan lama BPK.
Pendapat berbeda disampaikan anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Maruarar Sirait. Menurut dia, Kejagung terlalu terburu-buru menyimpulkan tanpa melihat hasil audit yang tengah dilakukan BPK.
Dia menilai sikap Kejagung seolah-olah bagian dari upaya mengamankan posisi pemerintah dan mereka yang terlibat dalam bailout Bank Century. ”Berani-beraninya kejaksaan menyimpulkan sebelum BPK mengambil kesimpulan,” kritiknya.
Sebelumnya, Hadi Purnomo dan Wakil Ketua BPK Herman Widyananda mengucapkan sumpah janji di depan Ketua MA Harifin A. Tumpa. Pelantikan itu dilakukan untuk memenuhi amanat pasal 16 ayat 2 UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK.
Hadir dalam pengucapan sumpah tersebut tujuh anggota BPK lainnya. Yakni, anggota I BPK Moermahadi Soerja Djanegara, anggota II BPK Taufiqurachman Ruki, anggota III BPK Hasan Bisri, anggota IV BPK Ali Masykur Moesa, anggota V BPK Sapto Amal Damandari, anggota VI Rizal Djalil, dan anggota VII BPK Muhammad Nurlif.
Wapres Boediono juga hadir didampingi sejumlah menteri serta pejabat. Yakni, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menhan Purnomo Yusgiantoro, Kepala BIN Sutanto, Ketua DPR Marzuki Ali, dan Ketua MK Mahfud M.D.
BPK Ragu, Percepat Hak Angket Sementara itu, DPR mulai meragukan jaminan kualitas audit investigatif Bank Century oleh BPK. Indikasinya, kegagalan BPK memenuhi janji tenggat waktu audit yang disampaikan ke DPR. Karena itu, parlemen dinilai perlu mempercepat hak angket Bank Century demi mendukung BPK.
‘BPK harus didukung supaya berani menyentuh ke mana aliran dana itu,” kata Drajad Wibowo, mantan anggota Komisi XI DPR, kemarin (26/10).
Sebelumnya, BPK menjanjikan menyerahkan hasil audit bailout Century kepada DPR pascalebaran lalu. Namun, anggota Komisi XI DPR Maruarar Sirait menyatakan janji itu tidak terealisasi. BPK lantas menjanjikan menyelesaikan hasil audit tersebut akhir tahun ini.
Menurut Drajad, hasil audit sementara yang disampaikan BPK menyatakan adanya potensi delik pidana dalam kasus Bank Century. Pernyataan itu disampaikan mantan Ketua BPK Anwar Nasution jelang pergantian DPR 2004-2009. Tapi, janji untuk menuntaskan audit Century malah molor.
Itu mengindikasikan adanya keraguan BPK dalam menelusuri aliran dana Bank Century. ”Para auditor BPK sebenarnya telah menemukan akses awal dari aliran dana (Century) tersebut. Namun, saat ini mereka tidak bisa menelusuri secara detail,” katanya.
Dalam posisi ini, DPR harus berinisiatif membantu BPK dengan membentuk panitia angket. Menurut Drajad, harus dibentuk panitia khusus (pansus) yang bertugas menginvestigasi. Pansus itu bisa memanggil para pejabat yang terlibat saat bailout Century mulai dikucurkan.
”Pansus harus menyentuh sejak dana itu keluar dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) sampai ke Century. Lalu, harus diketahui ke mana saja dana Century (dari LPS) tersebut mengalir,” ujarnya.
Mengapa hanya menyentuh aliran dananya? Drajad menegaskan, hal itu ditujukan demi mendukung kinerja BPK. Dia khawatir hasil audit BPK nanti tidak menyentuh substansi aliran dana Century. DPR juga akan mendapat bumerang jika membentuk panitia angket saat audit BPK diselesaikan.
”Saat nanti hasilnya datar-datar saja, DPR hanya akan dituduh memolitisasi. Karena itu, DPR harus balapan. Panitia angket harus dibentuk. Kumpulkan segera tanda tangan anggota (DPR),” tegas Drajad.
Itu juga demi meminimalkan upaya menghentikan polemik Bank Century yang sempat dilontarkan Kejagung. (noe/bay/owi/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 27 Oktober 2009
BPK: Ada Rekayasa Akuntansi; Terkait Kasus BLBI, Rizal Ramli Minta Boediono Diperiksa
Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menyimpulkan ada proses rekayasa akuntansi dalam Laporan Keuangan Bank Indonesia atau BI tahun 2004. Pada periode Juni-Desember 2003 terjadi penurunan aset sekitar Rp 100 miliar pada Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia atau YLPPI, tetapi tidak dicatat dalam akuntansi. Temuan itu disampaikan Auditor Utama Keuangan Negara III BPK Soekoyo, dalam jumpa pers, Selasa (11/12) di Jakarta. Hal itu dipaparkan terkait dugaan aliran dana BI ke mantan pejabat BI, penegak hukum, dan anggota DPR periode 1999-2004. Menurut Soekoyo, aset YLPPI yang tercatat di pembukuan Juni 2003 Rp 271,898 miliar. Adapun 31 Desember 2003 Rp 179,421 miliar. Namun, penurunan aset itu tidak dicatat dalam akuntansi YLPPI, yang belakangan berubah menjadi YPPI. Dari penelusuran BPK, ternyata ada penggunaan dana YLPPI sekitar Rp 100 miliar untuk bantuan hukum pada sejumlah mantan pejabat BI dan diseminasi DPR. Dana ini tak dicatat BI. Oleh karena ditemukan unsur pidana, BPK melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tembusan ke Kejaksaan Agung dan Polri. BK dapat fakta Badan Kehormatan (BK) DPR, Selasa, juga mengunjungi BPK dan bertemu Ketua BPK Anwar Nasution. Pertemuan itu untuk melengkapi data dugaan aliran dana BI senilai Rp 32 miliar, yang diduga bagian dari dana YPPI, ke sejumlah anggota Komisi IX DPR tahun 2003. Dari pertemuan dengan BPK, kami menemukan fakta keuangan dan fakta peristiwa yang bermanfaat, ucap Wakil Ketua BK T Gayus Lumbuun dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan seusai pertemuan. Anggota BK dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Ansory Siregar juga mengikuti pertemuan itu. Gayus menilai pertemuan dengan Anwar kian memperkuat pengaduan dari Koalisi LSM Penegak Citra DPR. Soekoyo juga membenarkan, dalam laporan BPK ke KPK, BPK menyebut nama seorang anggota DPR yang menerima dana. Nama itu diperoleh BPK dari pengakuan petugas BI yang mengambil dan mencairkan uang. Periksa Boediono Secara terpisah, terkait dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), mantan Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Keuangan Rizal Ramli, Selasa, ke Kejaksaan Agung untuk memberikan keterangan. Namun, ia hanya berada di Gedung Bundar Kejagung selama 10 menit, lalu pulang karena jaksa sedang rapat kerja. Setelah Rizal Ramli meninggalkan Kejagung, seorang staf Bagian Tindak Pidana Khusus Kejagung mencarinya. Ternyata, Rizal datang ke ruang Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman di lantai dua, yang sedang rapat di Puncak. Sedangkan jaksa Tim BLBI yang akan memeriksa Rizal menunggu di lantai tiga Gedung Bundar. Kepada wartawan, Rizal Ramli mengatakan, salah satu penanggung jawab krisis di Indonesia, termasuk BLBI, adalah Dana Moneter Internasional (IMF). Karena IMF yang menyarankan kebijakan yang membuat ekonomi Indonesia hancur, memaksa menutup 16 bank sehingga terjadi rush terhadap bank, ujarnya. Rizal menambahkan, selain itu, penanggung jawab kasus BLBI ini adalah pejabat yang membuat ekonomi Indonesia hancur. Pejabat itu harus diperiksa Kejagung, termasuk Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu. Menurut Rizal, salah satu tanggung jawab Boediono, yang saat itu menjabat Menteri Keuangan Kabinet Gotong Royong, adalah memberikan persetujuan penjualan Bank Central Asia (BCA). Padahal, penjualan BCA merugikan negara. Mantan pemilik BCA, Anthony Salim, Selasa, juga diperiksa di Kejagung lagi. Ia mengaku sudah memberi semua keterangan yang diminta jaksa. (sut/idr) Sumber: Kompas, 12 Desember 2007
DPR Minta Penegak Hukum Tidak Lupakan Kasus Bailout Bank Century Rp 6,7 Triliun
POLEMIK kasus dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Riyanto, masih belum berujung. Namun, Komisi III (bidang hukum) DPR meminta agar penegak hukum tidak melupakan kasus bailout Bank Century Rp 6,7 triliun.”Kasus Chandra dan Bibit ini hanya dampaknya,” kata Wakil Ketua Komisi III Aziz Syamsudin di sela rapat kerja dengan jaksa agung di gedung parlemen kemarin (9/11).
Menurut dia, perseteruan yang sering disebut cicak dan buaya itu bukan substansi pokok masalah antara anggota KPK dan Polri. ”Ada masalah mendasar yang belum terselesaikan dan itu jangan sampai dilupakan,” tegas anggota Fraksi Golkar itu.
Aziz lantas menyebutkan dua kasus yang tetap perlu diperhatikan. Yakni, kasus Bank Century dan IT Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dia juga mempertanyakan kasus yang saat ini sedang disidik Kejaksaan Agung, yakni terkait dana Bank Century yang mengalir ke luar negeri. ”Bagaimana uang itu bisa keluar, tapi kemudian negara harus menalangi?” ujarnya.
Aziz menggarisbawahi, kasus pengucuran talangan Bank Century jangan sampai seperti kasus BLBI. ”Ini pembobolan yang dilegalkan dengan kebijakan pemerintah. Substansi awal harus diselesaikan,” ungkapnya.
Dalam forum raker, Jaksa Agung Hendarman Supandji menegaskan, yang disidik Kejagung adalah dana Bank Century yang dibawa ke luar negeri. Jumlahnya mencapai Rp 11,9 triliun. ”Yang kami sidik itu larinya uang ke luar negeri. Itu sebelum pengucuran bailout,” jelasnya.
Dalam kasus tersebut, sudah ditetapkan dua tersangka, yakni Hesyam Al Waraq (wakil komisaris utama) dan Rafat Ali Rizvi (pemegang saham mayoritas/pengendali). Tentang status pengucuran dana Rp 6,7 triliun, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy menambahkan, ”Sementara ini belum ada perbuatan melawan hukum.”
Namun, dia menegaskan masih menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pengucuran bailout tersebut. ”Sekarang kami fokus pada dua tersangka itu,” terang Marwan.
Di bagian lain, tampaknya, DPR tidak perlu menunggu hingga akhir tahun untuk mengetahui hasil audit investigatif Bank Century. Sebab, BPK akan menyelesaikan audit lebih cepat dari target akhir tahun.
Anggota Komisi XI DPR yang juga Ketua Badan Anggaran DPR Harry Azhar Aziz menyatakan, pimpinan BPK baru saja menyatakan kepada pimpinan DPR tentang kesiapan menyelesaikan audit investigatif lebih cepat. ”Jadi, paling cepat selesai pada 16 November (Senin depan) dan paling lambat awal Desember,” ujarnya saat dihubungi kemarin (9/11).
Menurut dia, kesiapan BPK tersebut diungkapkan saat mengadakan pertemuan dengan pimpinan DPR. ”Saya ikut dalam kapasitas sebagai ketua badan anggaran,” katanya.
Harry menuturkan, salah satu kendala yang masih dihadapi BPK adalah penelusuran aliran dana. Sebab, lanjut dia, BPK belum bisa leluasa mengakses data yang dimiliki PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Sebab, mereka terbentur aturan yang menyatakan bahwa PPATK hanya boleh menyerahkan data kepada kejaksaan dan kepolisian.
”PPATK memang sudah menyatakan akan membuka data ke BPK. Tapi, kami tidak mau berdebat soal itu. Kalau memang BPK membutuhkan akses lebih luas ke data PPATK, kami harus mencari solusinya,” ujarnya.
Di tempat terpisah, Juru Bicara Tim Delapan Anies Baswedan mengakui, rekomendasi awal yang dikirimkan kepada presiden tidak termasuk kaitan kasus hukum Chandra-Bibit dengan dugaan kasus hukum dalam penyelamatan Bank Century dan dugaan kasus korup¬si radio komunikasi di Departemen Kehutanan yang melibatkan mantan Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban.
”Kami memang menemukan keterkaitan kasus Bibit-Chandra dengan kasus Century. Namun, kami tidak melakukan penajaman ke kasus Century dan M.S. Kaban, karena mandat tim hanya terkait kasus Bibit dan Chandra,” terang Anies. ”Kalau kami tiba-tiba merekomendasikan soal Century, orang akan bertanya-tanya, ada apa ini kok tiba-tiba rekomendasi soal Century,” paparnya.
Meski demikian, Tim Delapan masih akan membicarakan apakah kasus duga¬an korupsi dana penyelamatan Bank Century dimasukkan dalam rekomendasi akhir Tim Delapan. Sepekan ke depan, tim memang masih melanjutkan verifikasi fak¬ta dan proses hukum kasus Chandra-Bibit. (fal/owi/iro)
Sumber: Jawa Pos, 10 November 2009
Rp 62 Miliar untuk Mobil Menteri
Anggaran untuk mobil menteri dan pejabat setingkat menteri siap mengucur. Ini setelah DPR dan pemerintah sepakat mengalokasikan dana cukup besar untuk pembayaran pajak kendaraan dinas. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, usul dana tersebut digunakan untuk keperluan pembayaran pajak pengadaan kendaraan dinas untuk menteri/pejabat setingkat menteri dan ketua/wakil ketua lembaga tinggi negara kabinet periode 2009-2014. ”Nilainya Rp 62,8 miliar,” ujarnya dalam rapat pertama dengan Badan Anggaran DPR di gedung DPR kemarin (3/11).
Usul tersebut langsung disetujui DPR. Ketua Badan Anggaran DPR Harry Azhar Aziz mengatakan, anggaran tersebut dimasukkan dalam pos anggaran untuk kebutuhan mendesak APBN-P 2009. ”Tadi ada delapan poin, sudah kita setujui, termasuk anggaran untuk pajak mobil dinas,” katanya. Apakah berarti akan ada mobil baru untuk para pejabat? Harry enggan menjawab secara gamblang. Menurut dia, berdasar surat yang masuk ke DPR, dana Rp 62,8 miliar tersebut digunakan untuk pembayaran pajak kendaraan dinas.
Saat ditanya lebih jauh mengapa pos pembayaran pajak membutuhkan dana sebesar itu? Harry kembali enggan menjawab. ”Tanya Menteri (Keuangan) saja ya, itu untuk apa, kan dia yang mengusulkan” ucapnya. Besarnya pos anggaran untuk pajak kendaraan mobil dinas menteri ini juga membuat anggota Badan Anggaran DPR Maruarar Sirait kaget. Ditemui seusai rapat Badan Anggaran DPR, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDIP itu juga baru sadar bahwa nilai anggaran untuk pembayaran pajak kendaraan dinas sampai Rp 62,8 miliar. ”Iya, besar juga kalau untuk pajak. Mungkin ini mobil baru. Coba saya tanya Bu Ani (Menteri Keuangan Sri Mulyani, Red),” ujarnya.
Maruarar kemudian menelepon Sri Mulyani. Dalam percakapan tersebut, Maruarar menanyakan apakah dana Rp 62,8 miliar tersebut hanya untuk pajak atau untuk membeli mobil baru. Di ujung telepon Sri Mulyani menjawab bahwa itu untuk membayar pajak kendaraan dinas. ”Jumlahnya sekitar 80 mobil,” katanya menirukan Sri Mulyani.
Alokasi dana hingga Rp 62,8 miliar untuk kendaraan dinas tersebut mendapat kritikan pedas dari Ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad H. Wibowo. Menurut mantan anggota Komisi XI DPR tersebut, dana itu sepertinya tidak mungkin jika untuk membayar pajak tahunan atau pajak kendaraan nermotor (PKB), tapi untuk Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Sebab, jika masih menggunakan kendaraan dinas lama, Toyota New Camry, pajak setiap tahun hanya sekitar Rp 5 juta. ”Jadi, itu pasti untuk mobil baru,” ujarnya.
Dradjad juga menkritisi kinerja anggota Badan Anggaran DPR yang dengan begitu mudah menyetujui usulan anggaran dari pemerintah, khususnya untuk pos pembayaran pajak kendaraan dinas. ”Apalagi, persetujuan ini dibarengkan dengan alokasi anggaran untuk bencana alam di Padang dan tasikmalaya. (owi/iro)
Sumber: Jawa Pos, 4 November 200

Tugas Softskill II Akuntansi Internasional "IFRS"

Sejarah dan Gambaran Umum IFRS
Teknologi informasi yang mapan dan memanjakan manusia, membuat manusia semakin mudah untuk berinterkasi dan berkomunikasi satu dengan lainnya. Masyarakat di belahan dunia barat dapat dengan begitu mudahnya untuk berhubungan dengan masyarakat di timur tengah di pojok utara ataupun di daerah timur. Termasuk juga dalam berhubungan dagang dan berinvestasi. Karena kemajuan teknologi tersebut mendorong kemudahan manusia di seluruh dunia untuk berkomunikasi tanpa ada batas wilayah Negara atau biasa kita sebut globalisasi.
Dampak globalisasi yang semakin kuat dan berimbas kepada pasar pasar investasi membuat pihak yang terlibat berupaya untuk mempermudah dan menyeragamkan bahasa dalam berinvestasi (bahsa pelaporan keuangan dan standar keuangan). Standar pelaporan keuangan dan standar akuntansi haruslah standar yang dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat global. Sehingga diperlukan standar yang sama di seluruh dunia.
1970’an Inggris, Kanada, US membentuk Accounting International Study Group (AISG)
1973 Organisasi professional akuntansi dr Belanda, Kanada, Australia, Meksiko, Jepang, Prancis dan Selandia Baru membentuk International Accounting Standard Committee (IASC) dan menghasilkan International Accounting Standard (IAS)
2000 IASC restrukturisasi kelembagaan dan dibentuk IASC Foundation (IASCF) yg membawahi International Accounting Standard Board (IASB) dan International Financial Reporting Intepretation Committee (IIFRIC). IASB mengeluarkan International Financial Reporting Standards (IFRS).
IAS dan IFRS adalah standar akuntansi dan pelaporan keuangan yang merupakan produk IASC dan IASB. IFRS adalah produk IASB versi baru dan IAS adalah produk IASC versi lama. Selain itu terdapat pula International Financial Reporting Intrepretation Committee (IFRIC) dan Standing Intrepretation Committee (SIC).
Manfaat Konvergensi IFRS Secara Umum
Manfaat dari konvergensi IFRS secara umum diantaranya adalah :
Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan Standar Akuntansi Keuangan yang dikenal secara internasional (enhance comparability).
Meningkatkan arus investasi global melalui transparansi.
Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal secara global.
Menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan.
Meningkatkan kualitas laporan keuangan, dengan antara lain, mengurangi kesempatan untuk melakukan earning management.
Kerangka Dasar Penyusunan Laporan Keuangan Berdasar IFRS
- Elemen Laporan Keuangan
1. Neraca
2. Laporan Laba Komperhensif
3. Laporan Perubahan Ekuitas
4. Laporan Arus Kas
5. Catatan Atas Laporan Keuangan
6. Laporan Posisi Keuangan pada Perioda Komparatif
- Pemakai Laporan Keuangan.
Pemakai Kepentingan
Internal (Manajemen) Melihat besar kecilnya laba dan mengevaluasi kinerja keuangan perusahaan. Dan Informasi dalam laporan keuangan dapat digunakan untuk menentukan plan dan strategi perusahaan.
Eksternal (Investor) Menilai prospek tidaknya perusahaan tersebut (Mengukur resiko-resiko investasinya)
Pemberi Pinjaman (Biasanya Bank) Untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam melunasi pinjamannya.
Pemerintah dan Badan Regulator Lain Untuk menganalisa CAR perusahaan, sebagai pertimbangan kebijakan pajak, menghitung statistic pendapatan nasional.
Supplier Untuk menentukan kebijakan kredit terhadap perusahaan.
Pelanggan Mengetahui kelangsungan hidup perusahaan.
Karyawan Mengetahui kelangsungan hidup perusahaan serta mengetahui perusahaan untuk memberikan balas jasa.
Masayarakat (termasuk akademisi) Sebagai bahan pembelajaran dan ilmu pengetahuan. Selain itu dapat menjadi bahan dalam membuat tugas akhir, artikel, makalah, dan presentasi-presentasi.
- Basis Pengukuran
Basis pengukuran IFRS diantaranya adalah :
1. Biaya Perolehan
2. Biaya Kini
3. Nilai Realisasi dan Penyelesaian
4. Nilai Sekarang.
Kendala Adopsi Penuh IFRS di Indonesia
Ada 3 kendala dalam mengadopsi penuh IFRS;
1. Kurang siapnya infrastuktur seperti DSAK sebagai Financial Accounting Standart Setter.
DSAK adalah perumus SAK yang ada di Indonesia. Pada prakteknya DSAK mendapatkan berbagaimacam kritik. Diantaranya adalah minimnya partisipasi dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam setiap exposure draft hearingPSAK yang baru akan diberlakukan. Padahal untuk dapat di “cap” kualitas generally accepted accounting principle / GAAP adalah harus melewati tahapan-tahapan yang diantaranya melibatkan seluruh stakeholeder yang terlibat.
Selain itu status ketua dan anggota DSAK yang tidak bekerja full time membuat DSAK dipandang kurang begitu loyal dan independen. Dan yang memprihatinkan adalah belum ada satu peraturan pun yang memberikan mandate bagi DSAK untuk mengeluarkan SAK.
2. Kondisi perundanga-undangan yang belum tentu sinkron dengan IFRS.
Regulasi yang berkaitan dengan standar akuntansi dan pelaporan keuangan di Indonesia tidak begitu jelas. Terdapat banyak perundang-undangan yang kurang mendukung terhadap standar akuntansi dan pelaporan keuangan.
Di dalam IAS 16, standar internasional memperbolehkan pengukuran aktiva tetap memakai revaluation model (ditahun berikutnya setelah aktiva di nilai berdasarkan nilai perolehannya. Perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat menerapkan revalution model (fair value accounting) dalam pencatatan PPE (Property, Plan, and Equipment) mulai tahun 2008 (asumsi bahwa PSAK 16 akan mulai efektif tahun 2008). Hal ini adalah perubahan yang cukup besar karena selama ini revalution model belum dapat diterapkan di Indonesia dan hanya bisa dilakukan jika ketentuan pemerintah mengijinkan.
Apa perbedaan historical cost yang selama ini sudah lebih dikenal oleh dengan revalution model ?
Revaluation model memperbolehkan PPE dicatat berdasarkan nilai wajarnya. Permasalahannya di Indonesia adalah sistem perpajakan yang tidak mendukung standar ini. Di dalam peraturan perpajakan, revaluasi aset ke atas dikenai pajak final sebesar 10% dan harus dibayar pada tahun tersebut (tidak boleh dicicil dalam 5 tahun misalnya) dan tidak menghasilkan hutang pajak tangguhan yang bisa dibalik di tahun berikutnya bila nilai aktiva turun. Bayangkan apabila perusahaan memutuskan memakai revalution model dan setiap tahun harga asetnya meningkat, maka setiap tahun harus membayar pajak final.
Padahal kenaikan harga aset tersebut tidaklah membawa aliran kas masuk ke dalam perusahaan. Bila aturan perpajakan tidak mendukung, maka dapat dipastikan perusahaan akan enggan menerapkan revaluation model. Bukan hanya sistem pajaknya saja yang memberatkan, bila perusahaan memakairevaluation model, maka siap-siap untuk keluar uang lebih banyak untuk menyewa jasa penilai. Hal ini dikarenakan banyaknya aset tetap yang btidak memiliki nilai pasar sehingga ketergantungan kepada jasa penilai (assessor) akan besar untuk menilai aset-aset ini.
3. Kurang siapnya SDM dan dunia pendidikan di Indonesia
IFRS hanyalah alat untuk mencapai kemudahan dalam berinvestasi. Yang akan menggunakan dan mengoptimalkan alat tersebut tidak lain tidak bukan hanyalah manusia itu sendiri meskipun akan sedikit di bantu dengan teknologi informasi. SDM di Indonesia haruslah dapat memahami dengan baik apa itu IFRS. Tentunya SDM-SDM yang berhubungan langsung dengan laporan keuangan baik praktisi, pemerintah, hingga akademisi.
Salah satu kelemahan SDM Indonesia adalah kesulitan dalam menerjemahkan IFRS. Jadi dalam menerjemahkan dan memahami IFRS membutuhkan waktu yang tidak singkat. Padahal perubahan-perubahan di IFRS adalah sangat cepat, sehingga saat IFRS yang sudah selesai diterjemahkan terkadang IFRS yang tidak lagi berlaku. Kondisi ini berbanding terbalik dengan Negara lain yang langsung mengambil teks asli IFRS tanpa menerjemahkannya terlebih dahulu.
Beberapa hal yang menjadi perhatian dalam menerapkan IFRS di Indonesia :
NO ISU PERMASALAHAN
1 Revaluasi aktiva tetap, property, dan aktiva biologi tidak diakui sebagai bagian dari ekuitas. Revaluasi aktiva tidak hanya menaikan nilai aktiva, tetapi juga dapat menurunkan nilai aktiva yang belum atau pernah direvaluasi (IAS 16, IAS 38, IAS 40, dan IAS 41) Apakah selisih dari revaluasi aktiva-aktiva tersebut dikenakan Pajak?
Apakah selisih dari revaluasi aktiva-aktiva tadi dapat dikonversikan menjadi saham?
2 Pemegang saham dikelompokan sebagai bagian dari pihak yang memiliki hubungan istimewa. Pemegang saham BUMN adalah Negara, sedangkan pemerintah adalah penyelenggara Negara. Dalam kasus BUMN, harus bias dibedakan saat kapan pemerintah bertindak sebagai pemegang saham dan sebagai regulator. Dalam kasus BUMN, instansi pemerintah manakah yang digolongkan sebagai pihak yang memiliki hubungan istimewa?
3 IAS dan IFRS harus diterapkan secara konsisten dengan berlandaskan kepada Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statement. IAS dan IFRS beresiko diterapkan sebagian-sebagian oleh perbankan dan lembaga keuangan berbasis syariah.
4 Dalam menentukan nilai wajar, prioritas utama ditekankan pada penggunaan harga pasar resmi aktiva yang dinilai Tidak semua jenis aktiva memiliki harga resmi pasar. Jika IAS dan IFRS diterapkan secara penuh maka sebagian besar nilai wajar akan ditentukan menggunakan jasa konsultan penilai. Apakah konsultan penilai memahami benar IFRS?
Buruk Sangka Penerapan IFRS di Indonesia
Jelas disebutkan bahwa perekonomian Indonesia adalah berasaskan kekeluargaan. Akan tetapi semakin ke depan perekonomian Indonesia adalah Kapitalis. Tidak bias dipungkiri lagi kedigdayaan Negara barat (Negara capital) telah mempengaruhi seluruh pola hidup masyarakat indonesia dari kehidupan sehari-hari hingga permasalahan ekonomi.
Padahal dalam pasal 33 ayat 1 yang berbunyi, “ Perekonomian disusun atas usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Disini secara jelas nampak bahwa Indonesia menjadikan asas kekeluargaan sebagai fondasi dasar perekonomiannya. Kemudian dalam pasal 33 ayat 2 yang berbunyi, “Cabang-cabang produksi yang bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, dan dilanjutkan pada pasal 33 ayat 3 yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan di pergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” dari bunyinya dapat dilihat bahwa dua pasal ini mengandung intisari asas itu.
Akan tetapi dengan kemunculan konvergensi IFRS tersebut muncul buruk sangka bahwa ada golongan-golongan yang menginginkan keterbukaan yang amat sangat di dalam dunia investasi. Terutama keterbukaan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia dan makmur di Negara Indonesia. Hal tersebut tentu berseberangan dengan UUD pasal 33 tersebut. Terlebih lagi dengan adanya Undang-Undang Penanaman modal di tahun 2007 lalu maka semakin terlihat jelas bahwa ada indikasi untuk mengalihkan tanggung jawab pemerintah ke penguasa modal (kapitalis).
Hubungannya dengan IFRS adalah, keseragaman global menjadi masyarakat mudah berburuk sangka bahwa pemegang kebijakan Akuntansi di Indonesia adalah kapitalisme dan mengesampingkan asas perekonomian Indonesia yang tercetak jelas di Undang-Undang. Dan dokterin penyeragaman ini dapat memunculkan indikasi miring bahwa Indonesia semakin dekat dengan sistem kapitalisme dan memudahkan investor asing untuk mengeruk kekayaan di Indonesia.
Daftar Pustaka
http://www.ima-unhas.com/index.php?Itemid=2&id=57&option=com_content&task=view
http://pancasila.univpancasila.ac.id/?p=354
http://natawidnyana.wordpress.com/2009/03/03/perbandingan-ifrs-dengan-psak/
http://antiutang.wordpress.com/category/koalisi-anti-utang-di-media/ruu-penanaman-modal/
http://id.wikipedia.org/wiki/International_Financial_Reporting_Standards
Purba. P. Marisi. 2010. IFRS – Konvergensi dan Kendala Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu